LOKAL PRIDE – Probolinggo, dikenal akan keanekaragaman budaya lokalnya yang dipelihara dan diwariskan oleh penduduk setempat, mencerminkan pesona keragaman di daerah tersebut.
Salah satu warisan budaya unik di Kota Probolinggo adalah Kerapan Sapi Brujul, sebuah event lomba sapi yang diadakan di lahan pertanian berair dan berlumpur setelah masa panen. Tradisi ini, yang digelar di lapangan kerapan di Kelurahan Jrebeng Kidul, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo, Jawa Timur, telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendigbud) Republik Indonesia pada 18 Oktober 2019.
Perlombaan sapi ini tak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Kerapan Sapi Brujul mencerminkan kekayaan budaya dan semangat kebersamaan dalam upaya melestarikan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi di Kota Probolinggo.
Asal usul Kerapan Sapi Brujul dapat ditelusuri hingga kebiasaan petani yang menggunakan sapi untuk membajak sawah sebelum menanam padi. Namun, seiring berjalannya waktu, kegiatan tersebut berkembang menjadi hobi baru dan kemudian dijadikan sebagai ajang perlombaan antar petani saat musim tanam padi tiba. Tradisi ini, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kota Probolinggo, telah diwariskan secara turun temurun dan diyakini telah ada sejak era 1950-an.
Kerapan Sapi Brujul memiliki keunikannya sendiri, dengan melibatkan jenis sapi yang biasa digunakan untuk membajak sawah sebagai peserta utama perlombaan. Berbeda dengan ras sapi merah di Pulau Madura, Kerapan Sapi Brujul memiliki karakteristik yang unik dan menjadi bagian penting dari identitas budaya Probolinggo. Dalam perlombaan ini, dua sapi jenis sapi bajak padi diikutsertakan dan dikendalikan oleh seorang joki kerapan sapi.
Perlombaan Kerapan Sapi Brujul tidak hanya menjadi ajang kompetisi semata, tetapi juga menjadi sarana penjagaan dan pelestarian nilai-nilai tradisional serta kebersamaan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Kerapan Sapi Brujul tak hanya menjadi acara seru, melainkan juga menjadi simbol kekayaan budaya dan warisan yang perlu dijaga dengan baik oleh generasi mendatang di Probolinggo.
Seiring berjalannya waktu, minat masyarakat terhadap Kerapan Sapi Brujul semakin meningkat, membentuk kelompok-kelompok yang aktif menyelenggarakan perlombaan ini. Tradisi ini terus berkembang, terutama dalam hal busana megah bagi joki dan sapi, serta melibatkan pelatihan intensif agar sapi dapat memiliki keselarasan tujuan dan prinsip dengan pejoki. Dengan demikian, Kerapan Sapi Brujul tidak hanya menjadi perlombaan, melainkan juga menjadi wadah pembinaan dan keterlibatan aktif masyarakat dalam melestarikan tradisi.
Perkembangan tradisi ini melibatkan berbagai desa, seperti Triwung, Sumber Wetan, Kedopok, Wonoasih, Pilang, dan Ketapang. Kerapan Sapi Brujul tidak hanya berkembang di pusat kota Probolinggo, tetapi juga merambah ke pelosok desa, menunjukkan daya tarik yang kuat dan partisipasi komunitas dalam melestarikan warisan budaya. Puncak acara, yakni penghargaan kepada pemenang, disertai dengan upacara pengarakkan menggunakan alat musik tradisional Pandalungan, terutama kenong telok, memberikan sentuhan keindahan budaya pada momen tersebut.
Pemenang Kerapan Sapi Brujul tidak hanya meraih prestasi di lapangan, tetapi juga menjadi bagian dari perayaan masyarakat yang dihargai dengan prosesi pengarakkan. Alat musik tradisional Pandalungan, terutama kenong telok, memberikan nuansa khas pada acara tersebut, menandai keberhasilan dan kebanggaan yang dirasakan oleh komunitas yang terlibat dalam perlombaan tersebut.