BOLINGGO.CO – Anna Hasbie, juru bicara Kemenag, merespons usulan Muhammadiyah mengenai Sidang Isbat, menyoroti kepentingan menjalankan proses tersebut sesuai dengan fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Fatwa tersebut menetapkan bahwa awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah diumumkan secara nasional oleh Pemerintah RI melalui Menteri Agama, dengan menggunakan metode rukyat dan hisab.
“Mengapa sidang isbat itu diperlukan? Jadi, ini bukan masalah hisab kapan tanggal satu Ramadan, tapi apakah kelihatan atau tidak hilalnya. Rukyat itukan begitu, melihat, memantau,” kata Anna Hasbie. Mengutip dari Tempo, Selasa (12/3/2024).
“Sidang isbat itu memadukan dua metode, ada hisab dan rukyat karena memang aturannya di fatwa MUI tahun 2004 terbilang harus memadukannya,” sambungnya.
Sidang isbat menggabungkan hisab, yaitu perhitungan astronomi dengan angka dan prediksi, serta rukyatulhilal, di mana Tim Kemenag secara langsung memantau hilal pada 134 lokasi di seluruh Indonesia untuk konfirmasi.
Anna menyatakan bahwa metode tersebut telah lama digunakan dan diadopsi oleh banyak negara, dengan hampir semua negara mengandalkan rukyat. Menurut Anna, penetapan awal Ramadan secara tradisional melibatkan penggunaan metode rukyat yang dianggap sebagai sunah.
“Intinya, yang namanya sidang isbat itu memadukan dua metode, hisab dan rukyat. Kedua metode ini diakui dua-duanya,” kata Anna Hasbie.
Anna memberikan jawaban mengenai apakah perwakilan Muhammadiyah akan menghadiri sidang isbat yang diselenggarakan Kemenag hari ini.
“Biasanya semua datang. Termasuk dari Muhammadiyah juga, biasanya Pak Ashabul Kahfi datang,” katanya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengusulkan penghapusan Sidang Isbat dalam menetapkan awal Ramadan dengan alasan potensial penghematan anggaran negara.
“Dengan tidak diadakan isbat, lebih menghemat anggaran negara yang secara keuangan sedang tidak baik-baik saja,” kata Mu’ti lewat pesan tertulis, Sabtu (9/3/2024).