PROBOLINGGO – Rencana penerapan kebijakan lima hari sekolah di jenjang Sekolah Dasar (SD) Kabupaten Probolinggo akhirnya resmi dibatalkan setelah mendapat penolakan luas dari masyarakat, terutama pengelola Madrasah Diniyah (Madin) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.
Kebijakan ini awalnya dijadwalkan mulai berlaku pada Senin, 3 Februari 2025, sebagaimana tertuang dalam surat pemberitahuan nomor 420/411/426.101/2025 yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikdaya) Kabupaten Probolinggo. Namun, pada hari yang sama, Disdikdaya mencabut kebijakan tersebut.
Kepala Disdikdaya, Dwijoko Nurjayadi, mengonfirmasi pembatalan ini melalui pesan di grup percakapan pada Senin malam.
“Sehubungan dengan situasi yang tidak memungkinkan untuk menerapkan sekolah lima hari, maka surat edaran terkait lima hari sekolah DIBATALKAN. Sekali lagi DIBATALKAN,” tulisnya dalam pernyataan resmi.
Keputusan ini muncul setelah kebijakan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat, terutama pengelola Madin dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ).
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Kraksaan, KH. Achmad Muzamil, menyatakan bahwa kebijakan ini menimbulkan keresahan di kalangan pengelola Madin.
“Banyak teman-teman pengelola Madin menghubungi kami. Grup WhatsApp PCNU maupun MWC langsung ramai dengan adanya kebijakan tersebut. Mereka keberatan,” ujarnya Rabu (5/2/2025).
Menurutnya, terdapat 574 Madin di wilayah PCNU Kota Kraksaan yang akan terdampak jika kebijakan ini diterapkan.
Sebelum keputusan pembatalan diumumkan, PCNU sempat merencanakan audiensi dengan Disdikdaya untuk menyampaikan aspirasi para pengelola Madin.
Ketua PCNU Kabupaten Probolinggo, Kiai Abdul Hamid, juga menyebutkan bahwa banyak wali santri berniat menarik anaknya dari Madin dan TPQ karena waktu belajar mereka akan tersita oleh sekolah formal.
“Banyak wali santri yang mengeluh karena kebijakan ini sangat mengganggu Madin dan TPQ di desa-desa,” ujar Kiai Abdul Hamid.
Penolakan terhadap kebijakan ini juga datang dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPRD Kabupaten Probolinggo. Menurut mereka, sekolah formal dan Madin harus bersinergi tanpa ada yang dikorbankan.
Selain itu, Fraksi PKB menilai bahwa penerapan lima hari sekolah tidak sesuai dengan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), serta kultur pendidikan di Kabupaten Probolinggo.
Kebijakan ini juga dianggap bertentangan dengan konsep pendidikan karakter yang seharusnya memberi ruang bagi anak untuk belajar, beristirahat, dan bermain sesuai usia mereka.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Probolinggo, Rendra Hadi Kusuma, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak bisa diterapkan tanpa kajian mendalam.
“Karena banyaknya kontra di tingkat masyarakat, maka kebijakan ini dikaji ulang. Hasilnya, Disdikdaya memutuskan untuk tidak menerapkannya kembali atau mencabut kebijakan tersebut,” ujarnya.
Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Oka Mahendra Jati Kusuma, turut mengkritik keputusan Disdikdaya yang dianggap tidak berkoordinasi dengan DPRD sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut.
“Dampak paling terasa ada di Madin, karena mereka biasanya mulai kegiatan setelah sekolah formal selesai. Jika sekolah formal pulang pukul 15.00 WIB, maka waktu belajar di Madin akan terganggu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Oka Mahendra menegaskan bahwa pendidikan diniyah memiliki peran penting, mengingat porsi pelajaran agama di sekolah formal terbatas. “Jika Madin dan TPQ terganggu, saya khawatir pemahaman agama siswa akan berkurang,” tuturnya.
Dengan adanya gelombang penolakan dari berbagai pihak, kebijakan lima hari sekolah di Kabupaten Probolinggo akhirnya batal diterapkan, setidaknya untuk saat ini.